Otak Emosi, Reflek penentu keputusan
Anak, terlahir dengan otak yang masih bersih, kosong dari pengaruh apapun. Kemudian siapa yang lebih dahulu bertamu kepadanya dengan cara yang menarik, akan diterima masuk. Begitulah cara otak mengisi dirinya, hingga akhirnya kian lama kian penuh isinya. Tamu-tamu yang ingin masuk tadi, tidak semua memperoleh kesempatan memasukinya. Jika tamu-tamu otak itu adalah informasi-informasi yang masuk ke otak anak, lantas factor apakah yang menyebabkan ada informasi yang hanya bisa menunggu di teras, ada yang bisa masuk, bahkan tinggal selamanya?
Hingga usia lima tahun, otak mengalami perkembangan hingga 80% dari perkembangan keseluruhannya. Ini adalah penyebab awal mengapa peristiwa yang dialami otak dalam rentang waktu ini akan terekam dengan sangat baik, dan menentukan perkembangan otak berikutnya.
Emosi yang cerdas adalah emosi yang memperoleh pendidikan terbaik, terutama disaat pemiliknya memiliki usia dini, setidaknya lima tahun pertama. Pendidikan emosi tidak bisa disampaikan secara teoritis dan verbal, tetapi harus secara praktek. Melalui beragam peristiwa dan kejadian yang dialami, dilihat dan didengar anak. Semakin banyak anak mengalami, melihat, mendengar sebuah nilai, semakin kuat nilai tersebut tertancap diotaknya.
Pembelajaran emosi menjadi teramat penting, antara lain karena kekuatan dorongan emosi seseorang bisa lebih kuat dari kekuatan logikanya. Itu karena, otak logika berpikir kalah cepat dengan otak emosi. Yang dimaksud dengan otak emosi, adalah bagian otak yang disebut amigdala, yaitu bagian yang memberikan respon berupa tindakan emosional.
Manakala terjadi sebuah peristiwa, semisal ketika bapak guru matematika mengumumkan ujian matematika mendadak di suatu pagi, seperti apa respon emosional yang ditampilkan anak? Terkejut, wajah pucat, darah seperti berhenti mengalir. Betapa kecewanya anak, karena semalam terlalu lama menonton film, sehingga belum sempat menghafal rumus terakhir yang diajarkan. Teringat ancaman ayah untuk menghapus uang sakunya bila sekali lagi ia mendapat nilai jelek lagi. Beberapa detik kemudian, sang guru menyuruh anak-anak mengumpulkan tas didepan. Dan ketika teman-temannya sibuk mengumpulkan tas didepan, si anak menarik buku matematikanya dari dalam tas dan menyorongkannya masuk dalam laci mejanya.
Rupanya, amigdala, otak emosional anak telak bereaksi begitu cepat sebelum otak rasionalnya berfikir. Nyontek! Itu satu-satunya jalan keluar, piker amigdala.
BEberapa menit berlalu, soal-soal matematika sudah berulang kali ia baca, tanpa bisa menemukan jalan keluar dengan baik. Matanya terus menerus memandang sang guru yang berdiri didepan kelas. Tak ada kesempatan! Pikirnya kecewa dan ia pun akhirnya pasrah. Ketegangan yang mengusik pikirannya sudah mulai reda. Keinginan untuk menyontek pun mulai goyah. Rupanya, kini otak rasionalna mulai bekerja. Apakah ada gunanya kalau nyontek? Akibatnya tentu sangat parah bila ketahuan pak guru. Lalu apa kata ayah nanti? Padahal kalau terpaksa nilai ujian jelek, toh ada kesempatan remedial untuk memperbaikinya. Perkara hukuman kehilangan uang saku, biarlah kurelakan sehari, tapi selanjutnya tak akan kuulangi lagi. Beruntunglah ia, selamatlah ia dari keinginannya nyontek, berkat kecepatan dan ketepatan otak rasionalnya mencari pemecahan permasalahan.
Nah, mengapa amigdala secara spontan menyembunyikan buku matematika di laci? Jawabnya pertama adalah karena karakter amigdala memang memberikan respon emosional spontan, yang jauh lebih cepat sebelum otak rasional sempat bekerja menilai apa yang sedang terjadi. Kedua, adalah bahwa emosi yang ditampilkan amigdala dimunculkan sesuai pembelajaran emosi yang diterimanya. Amigdala memiliki peran untuk menentukan ‘hadapi’ atau ‘lari’. Keputusan lari telah dipilih oleh amigdala bisa jadi karena anak ternyata begitu takut dan tertekan oleh hukuman-hukuman yang akan diberikan si ayah jika ia memperoleh nilai buruk. Ketakutan ini masuk ke alam bawah sadar anak, mendidik amigdala untuk belajar mencari pelarian darinya.
Andaikan anak tidak mengalami tekanan dari siapapun, maka respon lari tak akan tertanam dalam benaknya. Sehingga amigdala masih bisa mengambil alternative kedua, yaitu hadapi. Setelah beberapa saat lewat berulah otak rasional bekerja dengan baik. Sifat otak ini adalah berfikir dengan jernih dan cerdas, mempertimbangkan resiko dari berbagai segi dan memikirkan akibatnya jauh ke depan.
Dapatkah anda bayangkan bagaimana jadinya bila otak rasionalnya terlambat mengambil keputusan? Atau keadaan aman untuk menyontek? Perilaku buruk ini adalah akibat dari pembelajaran yang diterima amigdala, jauh sebelum peristiwa ini terjadi.
Maka adalah tugas kita untuk membantu anak memberi pelajaran bagi amigdalanya agar berani menghadapi setiap persoalan, bukan lari dari persoalan.
Hingga usia lima tahun, otak mengalami perkembangan hingga 80% dari perkembangan keseluruhannya. Ini adalah penyebab awal mengapa peristiwa yang dialami otak dalam rentang waktu ini akan terekam dengan sangat baik, dan menentukan perkembangan otak berikutnya.
Emosi yang cerdas adalah emosi yang memperoleh pendidikan terbaik, terutama disaat pemiliknya memiliki usia dini, setidaknya lima tahun pertama. Pendidikan emosi tidak bisa disampaikan secara teoritis dan verbal, tetapi harus secara praktek. Melalui beragam peristiwa dan kejadian yang dialami, dilihat dan didengar anak. Semakin banyak anak mengalami, melihat, mendengar sebuah nilai, semakin kuat nilai tersebut tertancap diotaknya.
Pembelajaran emosi menjadi teramat penting, antara lain karena kekuatan dorongan emosi seseorang bisa lebih kuat dari kekuatan logikanya. Itu karena, otak logika berpikir kalah cepat dengan otak emosi. Yang dimaksud dengan otak emosi, adalah bagian otak yang disebut amigdala, yaitu bagian yang memberikan respon berupa tindakan emosional.
Manakala terjadi sebuah peristiwa, semisal ketika bapak guru matematika mengumumkan ujian matematika mendadak di suatu pagi, seperti apa respon emosional yang ditampilkan anak? Terkejut, wajah pucat, darah seperti berhenti mengalir. Betapa kecewanya anak, karena semalam terlalu lama menonton film, sehingga belum sempat menghafal rumus terakhir yang diajarkan. Teringat ancaman ayah untuk menghapus uang sakunya bila sekali lagi ia mendapat nilai jelek lagi. Beberapa detik kemudian, sang guru menyuruh anak-anak mengumpulkan tas didepan. Dan ketika teman-temannya sibuk mengumpulkan tas didepan, si anak menarik buku matematikanya dari dalam tas dan menyorongkannya masuk dalam laci mejanya.
Rupanya, amigdala, otak emosional anak telak bereaksi begitu cepat sebelum otak rasionalnya berfikir. Nyontek! Itu satu-satunya jalan keluar, piker amigdala.
BEberapa menit berlalu, soal-soal matematika sudah berulang kali ia baca, tanpa bisa menemukan jalan keluar dengan baik. Matanya terus menerus memandang sang guru yang berdiri didepan kelas. Tak ada kesempatan! Pikirnya kecewa dan ia pun akhirnya pasrah. Ketegangan yang mengusik pikirannya sudah mulai reda. Keinginan untuk menyontek pun mulai goyah. Rupanya, kini otak rasionalna mulai bekerja. Apakah ada gunanya kalau nyontek? Akibatnya tentu sangat parah bila ketahuan pak guru. Lalu apa kata ayah nanti? Padahal kalau terpaksa nilai ujian jelek, toh ada kesempatan remedial untuk memperbaikinya. Perkara hukuman kehilangan uang saku, biarlah kurelakan sehari, tapi selanjutnya tak akan kuulangi lagi. Beruntunglah ia, selamatlah ia dari keinginannya nyontek, berkat kecepatan dan ketepatan otak rasionalnya mencari pemecahan permasalahan.
Nah, mengapa amigdala secara spontan menyembunyikan buku matematika di laci? Jawabnya pertama adalah karena karakter amigdala memang memberikan respon emosional spontan, yang jauh lebih cepat sebelum otak rasional sempat bekerja menilai apa yang sedang terjadi. Kedua, adalah bahwa emosi yang ditampilkan amigdala dimunculkan sesuai pembelajaran emosi yang diterimanya. Amigdala memiliki peran untuk menentukan ‘hadapi’ atau ‘lari’. Keputusan lari telah dipilih oleh amigdala bisa jadi karena anak ternyata begitu takut dan tertekan oleh hukuman-hukuman yang akan diberikan si ayah jika ia memperoleh nilai buruk. Ketakutan ini masuk ke alam bawah sadar anak, mendidik amigdala untuk belajar mencari pelarian darinya.
Andaikan anak tidak mengalami tekanan dari siapapun, maka respon lari tak akan tertanam dalam benaknya. Sehingga amigdala masih bisa mengambil alternative kedua, yaitu hadapi. Setelah beberapa saat lewat berulah otak rasional bekerja dengan baik. Sifat otak ini adalah berfikir dengan jernih dan cerdas, mempertimbangkan resiko dari berbagai segi dan memikirkan akibatnya jauh ke depan.
Dapatkah anda bayangkan bagaimana jadinya bila otak rasionalnya terlambat mengambil keputusan? Atau keadaan aman untuk menyontek? Perilaku buruk ini adalah akibat dari pembelajaran yang diterima amigdala, jauh sebelum peristiwa ini terjadi.
Maka adalah tugas kita untuk membantu anak memberi pelajaran bagi amigdalanya agar berani menghadapi setiap persoalan, bukan lari dari persoalan.